*Pemuas Nafsu*
Cukup rindu itu merantai malu
Susunan paragraf mendadak tak tertuju
Ranum waktu di nafas kemaluanmu
Retorikamu hanya bualan lucu
Kau mungkin bijak di dalam mimpimu
Malapetaka kau jatuhkan padaku
Pelabuhan puki kesukaanmu
Datang pergi hanya perkara itu
Aku ingin berdua kesana kemari
Meski sebenarnya kau enggan menuruti
Dingin hati terasa hingga ujung kuku
Yang selalu tergores saat mencubit pipiku
Lakon seperti itu tidak akan berhenti
Akan terus mencari kepuasan birahi
Akara sudah lepas aku bisa bebas
Benar saja, aku tak lagi memberi bekas
Pada kecup bibir penuh diryah
Pagut mesra tak lagi kurasa
Sudahi atau kembali kecewa
Atas apa-apa beralas pasrah
*Bukan Lagi Arti*
Seirama itu derap beraturan memilih hengkang dari waktu kita yang lekang, sebab beberapa kali memilih arti daripada mengambil sikap sendiri. Iya-nya bertanggapan tanya, tersebut ia lelaki gagah perkasa yang hanya bermodal birahi melalap vagina. Tiada arti jika masalalu wanita tanpa kata perawan menjadi dogma klise untuk pernikahan. Karena bujuk rayu serta paksaan vodka merusak kerongkongan para wanita tak bersalah. Kita merupakan alasan para pejabat untuk berkencan. Meski dalam hati wanita itu berkata: aku ini dijual.
*Negeri Penuh Drama*
Tujuan pendidikan murni untuk negeri dan diri sendiri, mereka difasilitasi beberapa nilai untuk satu langkah lebih maju, meski seringkali dipaksa memahami apa yang tidak sesuai dengan kemampuan dirinya.
Mereka berlomba-lomba mencari nilai, sampai lupa karakter terekam sejak yang diinginkan hanya tenar, sebab nantinya bukan karya yang mereka hasilkan namun kerusakan.
Diberondong peluru meleset otak tertuju, ialah ilmu yang hanya tameng tentang berapa uang spp-mu, berapa tinggi ipk-mu seberapa elite sekolahmu?
Masih banyak pertanyaan perihal persaingan, seperti tak ada habisnya menjadi dogma dikalangan siswa maupun mahasiswa, bukankah kata lainnya kita hanya diajarkan saling mengejar keuntungan? Bukan bersama-sama mencapai tujuan?
Seperti apa rupanya pendidikan yang sebenarnya, sekolah dimahalkan? Ilmu dibuang keselokan. Begitu kata paman Iksan. Itu realita di negeri kita.
Atau justru mereka yang di Sabang sebenarnya lebih pintar dari mereka yang hanya bermain peran, bahkan mereka yang di Merauke lebih unggul daripada bapak dosen yang gundul.
Nasib pendidikan tidak hanya satu kalangan, tidak pula satu keturunan, pendidikan boleh diraih untuk siapa saja yang ingin belajar bukan soal mengejar dolar.
Tenaga pendidik bukan cuma mereka sudah terdidik, mereka juga dituntut mengajar yang terbaik, mengapa terkadang kesejahteraan mereka disepelekan? Bukan pegawai negeri yang berhak atas kelayakan, lah apa kabar pegawai honorer?
Meski bukan gaji yang mereka terima, apakah mereka harus dianaktirikan?
Lagi-lagi problematika pendidikan di negara Indonesia menjadi sorotan banyak media, kita tidak menyalakan pemerintah untuk hal yang menjadi baik setelahnya, bukan berarti juga kita tidak berhak bersuara.
Katanya negara demokratis, tapi banyak ketidakadilan yang begitu miris, membuat siswa atau mahasiswa menahan tangis akibat ulah pemimpin yang egois.
Pola pikir mendadak kritis jika semua dituntut menjadi sempurna, alih-alih bersikap optimis yang ada malah pesimis karena tidak sejalan dengan yang diharapkan.
Kita seperti dilucuti kebebalan. Mengabdi hanya untuk kepentingan yang memaksa keadaan. Kesadaran sudah dibabat habis untuk membayar harga yang semakin naik drastis. Dramatis.
*Pelampiasan*
Rumahku bukan seperti rumah yang teduh. Saat beberapa waktu yang telah hilang menjadi datang dan membawa senang untuk kemudian kujadikan sungguh adalah hidup, namun kau memilih singgah hanya karena cinta lainmu redup. Rumahku bukan seperti rumah yang teduh. Perlahan aku mencari hadirmu di antara marka jalan berlumut rindu. Di antara hirup aroma pukul dua belas malam yang bersemayam nyaman. Sembari berkata bahwa pulang adalah kata kerja yang membawa rindu pada kotanya. Untuk apa beralasan perasaan sebagai tameng perpisahan, jika perasaanku saja tidak dengan mudah kau dapatkan. Rela menjadi diam yang menyakitkan, sebelum akhirnya segala usahamu melihatku dari jauh kuberi jawaban. Kita ialah aku kamu tanpa nama, tanpa aba-aba namun berjalan cukup lama dan kau berkata jalani saja karena kau takut kecewa kedua kalinya. Setelahnya kau berkata tidak memiliki rasa atas apa-apa yang sudah kau katakan dan apa-apa yang sudah membuat hatimu bahagia. Dan sekarang kau lupakan begitu saja. Pasal tidak sengaja masih berlaku rupanya.
Karya by: Amalia Putri (12 OTKP 2)